Cerita Kang Ade: Penjual Bendera dari Garut di Trotoar, 14 kali Agustus ke Liwa Berjualan Titik yang Sama

  • Bagikan

Ade pria asal Garut, Jawa Barat (Jabar), sang penjual musiman yang mulai terlihat mejeng, duduk menjajakan bendera dan umbul-umbul di trotoar depan Masjid Agung Komplek Pemkab Lampung Barat (Lambar), Kamis (29/7/21).

Karena berasal dari Jabar tersebut, wartawan Waktuindonesia.id memanggilnya dengan sebutan akang, panggilan khas dari daerah yang dikenal penghasil dodol itu.

Seperti biasa, jelang bulan peringatan hari kemerdekaan, Agustus, Kang Ade mulai menampakan batang hidungnya di Bumi Beguwai Jejama untuk mencari peruntungan.

Ia baru tiba hari ini. Di hari pertama tersebut ia langsung berjualan. Tak mau membuang waktu. Menurutnya semakin cepat dagangannya habis terjual, makin cepat pula ia kembali ke Garut. Bersua dengan istri dan tiga ananknya.

Demikian ia bercerita kala bincang panjang, duduk bersila, di trotoar sambil menguliki profesinya yang keren itu. Karena dia pandai cari peluang usaha yang masyarakat sekitar mungkin jarang memikirkan untuk melakoninnya.

Ia pandai memanfaatkan moment. “Emang top dah kang Ade”, sang penjual musiman lintas pulau yang dengan penuh optimis bakal mendulang pundi-pundi rupiah dari kain produk konveksi di bilangan tempat tinggalnya di Garut sana yang ia pasang memanjang dengan indah di dekat halte.

“Harganya bervariasi mas mulai dari Rp25 ribu sampai Rp300 ribu,” jawab Kang Ade saat ditanya harga kain yang ia jual mengawali dialog sore ini.

Pria 45 tahun itu juga merinci harga bendera, umbul-umbul hingga background, yakni kain rambai panjang yang biasa menempel di pelapon perkantoran itu.

Di mana untuk umbul-umbul ia tarif Rp25 ribu, sedangkan bendera ukuran 1M x 80Cm ia banderol Rp70 ribu, 1M x 50Cm harganya Rp50 ribu. Sedangkan 1M x 20Cm hanya Rp30 ribu dan bendera kecil yang biasa dipasang pada spion kendaraan bermotor itu ia tarif Rp5 ribu saja.

BACA JUGA:  Bapenda Pesawaran Tandai Reklame Nunggak Pajak

“Kalo background itu agak lumayan mas harganya Rp300 ribu ukuran 10 meter,” kata dia dengan bercanda sambil menawarkan dengan logat sundanya, sok atuh dibeli (Ayolah dibeli).

Selain pandai melihat peluang, rupanya Kang Ade ini pandai bercanda dengan konstituen jika ia diumpamakan anggota legislatif. Waktu yang singkat tapi terasa tak asing.

Waktuindonesia.id lantas mejawab tawarannya sembari melihat jenis kain jajaannya.

“Mau dipasang di mana begitu panjangnya background, rumah saja hanya lebar 6 meter.” Itu memang rata-rata ukuran rumah sebagian wilayah di Lambar.

“Jauh juga kang dari Garut jualan bendera di Liwa. Apa untungnya ketemu kang (Untung besar),” tanya wartawan media ini coba menggali.

Terlebih kini masing-masing rumah mungkin sudah punya bendera dan umbul-umbul simpanan yang belum rusak. Apalagi dipasang pada momen-momen tertentu saja.

“Namanya usaha jualan mas, untung rugi itu mah udah resiko,” celetuknya.

“Saya hitungnya udah 14 kali ke Liwa mas dagang bendera, tapi kerasa kurang untungnya sejak ada pandemi Covid-19,” sambungnya.

Karena, kata Kang Ade, tahun-tahun sebelumnya dia terbilang hoki saat jualan, di mana selain balik modal untungnya juga berlipat.

Berdasarkn pengakuannya, berarti sudah 14 tahun Kang Ade ini berjualan kain di Kota Liwa, jika hitungannya setiap jelang hari kemerdekaan.

Yang tak disangka lagi sekaligus membuat tertegun, Kang Ade mengakui kalau dirinya berjualan di lokasi yang sama selama 14 tahun terahir itu.

Ia tampaknya benar-benar istiqomah.

Kang Ade perantau gigih dan tangguh di antara penjual kain bendera lainnya. Karena, kata Kang Ade, rata-rata penjual bendera berasal dari Garut.

Mengenai kurang keuntungan berjualan saat pandemi Covid-19 yang mulai sejak 2019 itu, Kang Ade sepertinya agak mengeluh.

BACA JUGA:  Diskan Lampung Barat Catat Estimasi Kerugian Dampak Ikan Mati Massal di Danau Ranau, ini Angkanya

Namun bagaimana lagi, penyakit yang mewabah itu menyerang semua sektor, termasuk ekonomi dan UMKM yang digelutinya. Berusaha lebih baik dari pada mengangkat bendera putih.

Kalo sebelum pandemi, normalnya dari 50 kodi yang saya jajakan itu laku semua saya bisa untung Rp40 jutaan paling minim mas. Tapi sejak pandemi ini ya enggak nyampe segitu. Bahkan tahun lalu saya rugi. Karena modal 30 saya cuma dapet duit Rp14 juta,” keluhnya.

Kendati demikian, Kang Ade tetap optimis dan berjualan di tengah gempuran wabah yang juga menggerogoti penghasilan tersebut. Karena, katadia, bagaimanapun kondisinya dapur harus tetap ngebul.

“Semua ada resiko mas, kalo doa dan harapan semoga laku semua, tapi itu kan kemauan kita akan untung, namun salah juga kalo gak usaha. Intinya saya mencari nafkah untuk anak istri doain ya mas semoga dagangan ini laris,” harap pria beranak tiga tersebut.

Bagaimana tidak, Kang Ade mengungkapkan tidak sedikit penjual kain lainnnya yang harus menggadai sertipikat rumah maupun kendaraan bermotor agar bisa memutar uang kain umbul-umbul yang tidak bisa diambil kecuali harus cash terlebih dahulu di konveksi langganan.

“Nyatanya ada yang dari kami demikian mas kisahnya, tapi ya namanya kita harus berjuang dan tetap bertahan hidup,” sambungya.

Kendala kurangnya laba jualan selain Pandemi Covid-19, Kang Ade pun menyinggung karena adanya marketplace atau maraknya penyedia jualan online pun jadi kendala, karena tidak jarang masyarakat yang memanfaatkan layanan tersebut, terlebih harga yang terlampau murah pun ditawarkan sehingga bedampak menyayingi harga pelaku UMKM di lapangan.

“Apalagi harga umbul-umbul di aplikasi online harganya sangat murah terkadang tidak masuk di akal, sehingga pedagang seperti kami ini terkena dampak,” keluhnya.

BACA JUGA:  Polemik Dirut PDAM TB, Komisi I DPRD Kota Bekasi Bakal Tempuh Somasi - Praperadilan

Ditemani sang ponakannya saat berjualan itu, curahan hati Kang Ade tampaknya membuat ia emosional. Bola matanya tampak berkaca-kaca. Tampak penuh air yang sebentar lagi akan tumpah menjelma sedih. Tetapi itu semua ia tutupi dengan candaan.

Jika tak berjualan musiman itu, dia petani hortikultura, baru baru ini saja dirinya mengakui telah bercocok tanam jagung, yang biasanya juga menanam terong dan timun.

Hari ini, Kang Ade kembali berjuang di bumi Sekala Bekhak jajakan kain umbul-umbul dan bendera sebagai pedagang musiman, yang akan kembali kembali paling lambat ke tanah Garut apabila dagangannya tak habis.

“Habis enggak habis tanggal 13 Agustus harus balik ke Garut mas,” kata dia mengahiri bincang sore ini.

Laporan: Erwan Nur
Editor: Merli S

  • Bagikan