Sedikit Mengingat Proses itu
Oleh: (esa) Merli Sentosa
Saat itu saya menggeluti aktivitas sebagai loper koran lokal di Lampung Barat, sekitar awal tahun 2009. Dua koran ternama Provinsi Lampung dan sejumlah majalah nasional juga saya antar door to door ke sekitar 200 pelanggan.
Selain loper, saya juga honorer di salah satu sekolah setingkat menengah pertama swasta di bawah naungan Kator Departeman Agama (Kandepag) Lambar, kini Kantor Kementerian Agama. Mengambil jam pertama dan kedua. Untuk selanjutnya berangkat di salah satu agen koran di Pasar Liwa, Balikbukit.
Setiap hari saya bergelut dengan oplah koran. Apapun yang terjadi koran yang saya bawa dengan sepeda motor harus sampai ke pelanggan. Jika tidak, risiko penagihan bakal cukup sulit. Dampaknya, gaji sekitar Rp650 ribu per bulan harus telat diterima dari jadwal biasanya.
Mau tak mau, bagaimana pun iklim dan seperti apapun kondisi cuaca harus diterjang. Yang sedikit menyedihkan, saat turun hujan. Kertas koran yang pantang terkena air itu bak mengurus bayi. Dibungkus pelastik dengan sedemikian rupa. Apalagi Liwa memang dikenal dingin, kerap musim hujan saat itu.
Saat tiba di rumah pelanggan, tangan yang basah saat menerobos hujan harus dikeringkan, saya lap dengan baju terbungkus mantel–jas hujan– yang saya kenakan.
Begitu pula kala musim panas, terkadang wajah terbakar. Pedih terasa saat dibasuh.
Demikian, terus menerus aktivitas selama tujuh hari dalam sepekan. Hampir satu tahun saya geluti aktivitas tersebut.
Makin lama saya menjadi tertarik menjadi seorang penulis, pencari berita, wartawan, jurnalis. Ini sekitar pertengahan 2009.
Saat menjadi loper, saya bersama seorang teman, Mony– sebut saja begitu. Saya bertanya kepada Mony. “Tek di mana tempat belajar menjadi wartawan,” itu yang saya ingat pertanyaan yang saya lontarkan.
‘Tek’ adalah sapaan akrab untuk seorang teman yang telah lama bersama. Demikian pangilan sehari-hari di Liwa dan sekitarnya kepada teman sejawat.
Dia juga bingung menjawab, namun ternyata Mony juga berniat menjadi seorang jurnalis.
Hari itu, kami belum menememukan sosok yang bakal mengajari kami.
Keesokan harinya, saya kembali bertanya kepada rekan loper lain, mas Eko. Dia lantas menunjukkan seorang mantan wartawan harian besar dan terkemuka di Lampung, Andi Gunawan.
Dia mengundurkan diri lantaran mencalon menjadi Anggota DPRD Lampung Barat 2009, dari salah satu dapil di Krui, saat itu Pesisir Barat belum daerah otonomi baru (DOB). Masih bagian dari wilayah Lampung Barat. Meski akhirnya beliau tak duduk di kursi wakil rakyat kala itu.
Udo Andi. Udo adalah sapaan akrab kepada seorang anak sulung di Krui. Demikian kami menyapa Andi Gunawan. Dia tegas, cukup profesional sebagai seorang jurnalis. Dan disegani.
Udo Andi saat itu kembali aktif menjadi wartawan, membuka penerbitan koran mingguan, Fokus Post. Dia pemimpin redaksinya, Penanggungjawab, dan dewan redaksi.
Saya ingat, hari itu Selasa di bulan Agustus 2009. Saya mengadap beliau. Langsung membawa berkas lamaran dengan melampirkan legalisir ijazah setingkat sekolah menengah atas, MA Nurul Islam, Kelakah, Lumajang, Jawa Timur (Jatim). Memang saat itu saya belum menyelesaikan strata satu.
Setelah menyampaikan niat, Udo Andi tampaknya tak yakin. “Kenapa mau jadi wartawan. Wartawan itu, susah, payah, kerjanya ya!” Demikian kata yang saya ingat hingga kini.
“Kamu pulang dulu. Pikir matang-matang,” itu kalimat kedua yang saya dengar.
Setelah duduk sejenak, saya pulang ke kontrakan, di Padangcahya. Istri yang saya nikahi pertengahan tahun 2007 dan balita laki-laki sulung saya yang lahir Agustus 2008 ternyata tak ada di rumah. Main ke kebun rupanya. Bersama mertuanya yang perempuan, ibu tercinta saya.
Sejak sore itu saya terus berpikir. Malam gelisah. Dalam hati bergumam. “Emang kayak mana sih susahnya jadi wartawan,” demikian kata yang berkecamuk dalam hati dan pikiran saya.
Setelah mengantar langganan koran, saya kembali menghadap Udo Andi. Lagi-lagi kalimat serupa yang saya dengar. Saya pun kembali pulang. Dan semakin penasaran sekaligus bertekad. “Saya pasti bisa!”
Hari itu Kamis, semua wartawan mingguan penerbitan lokal itu tengah kumpul. Diproyeksi.
Usai memberikan arahan kepada sejumlah wartawannya, Udo Andi memanggil saya. Saya masuk, duduk di kursi depan mejanya. “Sudah berpikir? Sudah bulat?” Demikian pertanyaan beliau. Saya menjawab singkat, “sudah”.
Awal bekerja saya ditugaskan meliput di kabupaten tetangga, di provinsi tetangga pula, Ogan Komering Ulu Selatan (OKUS), Provinsi Sumatera Selatan (Sumsel). Sekaligus merintis dan membesarkan sebaran koran mingguan itu di pemkab yang beribukotakan Muara Dua tersebut.
Saya jalankan saran dan petunjuk pimpinan. Jujur, aaya dididik cukup keras oleh Udo Andi, utamanya disiplin waktu. Demikian juga soal karya. Salah koma saja, saya pun ditatar. Demikian gambaran pola ia mengembleng dan mengajar wartawannya menulis. Dan satu hal yang saya tangkap. Udo Andi tak suka kegagalan.
Di OKU Selatan, sekitar satu tahun saya bertugas di kabupaten baru itu. Karena sekitar akhir tahun 2010, koran mingguan ini tak lagi cetak. Saya nganggur.
Banyak rekan menawarkan untuk bergabung di medianya, namun saya masih menunggu saran Udo Andi, meski kami sudah jarang bertemu.
Sekitar pertengahan 2011, Udo Andi kembali membuka media edisi print. Kali ini terbit per hari. Awalnya bernama Warna Lambar. Namun karena suatu hal, akhirnya terbit dengan dengan nama SKH Warta Lambar.
Udo Andi menghubungi saya. Meminta saya mengadap di kantor yang sudah ia siapkan. Beliau bercerita prihal penerbitan itu.
Terus terang, saya sempat ragu saat ditawari menjadi redaktur. Alasannya jam terbang saya terasa masih minim, apalagi mengemban amanah itu.
Sebagai orang yang mendidik saya dari nol, Udo Andi tetap menyakinkan saya. Saya pun menyanggupinya dengan permintaan. Saya tak dilepas, selalu ‘dituntun’ dan tetap diarahkan.
Kami berdua pun membuat halaman. Sudah disetujui, sampul berlabel SKH Warta Lambar. Sementara halaman dalam dinamai daerah pemilihan disingkat DP.
Kami, calon kru media anyar kala itu, terus dilatih. Sekitar tiga bulan sebelum dilaunching. Dirasa sudah layak, Warta Lambar pun terbit, 20 Juni 2011.
Saya pun mundur dari honorer, ingin fokus bekerja sebagai jurnalis yang saya cintai ini.
Sekitar April 2012, saya mengajukan pengunduran diri dari wartawan sekaligus Plt Wakil Pemimpin Redaksi Warta Lambar saat itu. Penguduran diri saya diterima.
Sekitar tanggal 24 April 2012, saya resmi bergabung dengan SKH Lampung NewsPaper, koran ini group Radar Lampung, fokus liputan ekonomi bisnis dan politik.
Tercatat hingga akhir 2020 saya menjadi wartawan di koran itu.
Di media online, saya mulai jatuh cinta sejak tahun 2018. Saat itu eks bos saya di Lampung NewsPaper, H Nizwar telah bergabung di salah satu media di Jawa Barat. Di sana, dia juga pemred media online JPNewscoid. Saya mulai mengirim berita ke media daring itu. Saya juga sempat bergabung ke JP-NewsId, dia juga pemrednya.
Sekitar pertengahan 2020 saya membuat perusahaan media, waktuindonesia.id nama domainnya. Kemudian Juli 2021 menerbitkan edisi print Harian Waktu Lampung.
Dan pada 19 Januari 2023, Harian Waktulampung Online dengan nama domain Waktulampung.com di bawah naungan Pikiran Rakyat Media Network (PRMN) resmi mengudara. Saya meminta kesedian H Nizwar sebagai pemrednya dan saya sendiri wakilnya.
Selama kurun waktu 12 tahun lebih saya menggeluti pekerjaan ini. Suka dan duka tentu banyak dijalani. Yang pasti saya sangat mencintai dunia jurnalistik.
Salam…
Liwa, 26 Februari 2023