LIWA, WAKTUINDONESIA – Kejaksaan Negeri (Kejari) Lampung Barat (Lambar) menggelar konfrensi pers mengenai pelaksaan Restoratif Justice yang ditempuh oleh Korps Adhyaksa yang juga membawahi wilayah hukum Kabupaten Pesisir Barat (Pesibar).
Kepala Kejari Lambar, Riyadi, memaparkan mekanisme restorative justice bertujuan untuk terciptanya peradilan yang adil serta memulihkan kembali status terduga pelanggar hukum berdasarkan Restorative Justice.
Di mana mekanismenya, mengedapankan rekonsiliasi menggelar pertemuan antara korban dan terdakwa, dan kadang-kadang juga melibatkan para perwakilan masyarakat secara umum.
Kemudian difasilitasi oleh kejaksaan selaku penuntut umum, kepolisian sebagai penyidik dan korban serta pelaku dan saksi.
Terlebih pelaksanaan penghentian penuntutan tersebut berdasarkan keadilan restorative sesuai dengan Peraturan Jaksa Agung Nomor 15 tahun 2020.
“Kami menempuh jalur itu terhadap salah satu kasus di wilayah Pesibar, di mana sebelumnya kami telah melakukan vidcon melaporkan kepada Kejagung (27/10/21) dan disetujui,” papar Riyadi, dalam konfrensi pers di Aula Kejari Lambar.
“Sehingga kami melakukan konprensi pers terkait hal itu untuk mempublikasi mekanisme Restoratif Justice yang pertama kali ditempuh,” imbuh Riyadi
Pemberhentian penuntutan kasus berdasarkan Restoratif Justice yang dimaksud Riyadi adalah perkara yang diduga melanggar KUHPidana 351 ayat 2 subsider 351 ayat 1 di wilayah hukum Pesibar.
“Atas nama korban Imron bin Yusuf dengan tersangka M Safei bin Ikhwan sebagai pelaku, warga Pekon Cahya Kuningan Kecamatan Ngambur atas peristiwa yang terjadi pada Selasa (2/3/2021) lalu,” jelasnya.
Lebih kurang kronologisnya, lanjut Riyadi, ialah sengketa lahan sawit antara pelaku dan korban yang mengakibatkan mengancam jiwa dan dikategorikan unsur pidana.
Masih kata Riyadi, dirinya menegaskan tidak semua perkara hukum bisa di tempuh dengan Restoratif Justice, ada syarat dan ketentuan yang berlaku.
“Tapi pada intinya, prinsip keadilan restorative justice adalah salah satu prinsip penegakan hukum dalam penyelesaian perkara yang dapat dijadikan instrumen pemulihan dan sudah dilaksanakan oleh Mahkamah Agung dalam bentuk pemberlakuan kebijakan (Peraturan Mahkamah Agung dan Surat Edaran Mahkamah Agung),” tandasnya.
(erw/WII)





