JAKARTA, WII – Selain menahan 11 mantan anggota DPRD Sumatera Utara (Sumut), Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah menetapkan status tersangka kepada 14 Anggota DPRD Provinsi Sumatera Utara periode 2009-2014 dan/atau 2014-2019 pada 30 Januari 2020.
Mereka adalah, SH, RPH, N, MA, IB, AHH dan SHI. Kemudian, RN, R, M, LS, JS, JD dan ID.
Menurut Plt Jubir KPK dalam keterangan pers yang diterima waktuindonesia.id, Rabu (22/7) malam, para tersangka tersebut diduga menerima hadiah atau janji dari Gubernur Sumatera Utara, GPN.
“Padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan karena atau berhubungan dengan sesuatu yang bertentangan dengan kewajiban, dilakukan atau tidak dilakukan dalam jabatannya atau untuk menggerakkan agar melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya yang
bertentangan dengan kewajibannya sesuai fungsi dan
kewenangan Anggota DPRD Provinsi Sumatera Utara periode
2009-2014 dan/atau 2014-2019,” terang Ali Fikri.
BACA JUGA: 11 Mantan Anggota DPRD Sumut Ditahan KPK
Dikatakan, hadiah atau janji tersebut berkaitan dengan beberapa perkara, yakni persetujuan laporan pertanggungjawaban Pemerintah Provinsi Sumatera Utara tahun anggaran 2012 – 2014 oleh DPRD Provinsi Sumut.
Kamudian terkait persetujuan perubahan anggaran pendapatan dan belanja daerah Provinsi Sumatera Utara tahun anggaran 2013 dan 2014 oleh DPRD Provinsi Sumatera Utara; Pengesahan angggaran pendapatan dan belanja daerah
Provinsi Sumatera Utara tahun anggaran 2014 dan 2015 oleh
DPRD Provinsi Sumatera Utara.
“Dan penolakan penggunaan hak interpelasi oleh DPRD Provinsi
Sumatera Utara pada tahun 2015,” kata Ali Fikri.
Dijelaskan, terkait indikasi penerimaan had8ah atau janji itu, penyidik mendapatkan fakta-fakta yang didukung dengan alat bukti berupa keterangan saksi, surat dan barang elektronik bahwa 14 tersangka tersebut diduga menerima fee dengan jumlah beragam dari Gubernur Sumut, GPN terkait pelaksanaan fungsi dan wewenang sebagai Anggota DPRD Provinsi Sumut.
“Atas perbuatannya tersebut, 14 Anggota DPRD Provinsi Sumut
periode 2009-2014 dan/atau 2014- 2019 disangkakan melanggar pasal 12 huruf a atau huruf b atau pasal 11 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang
Nomor 20 Tahun 2001 jo. pasal 64 ayat (1) dan pasal 55 ayat (1)
ke-1 KUH Pidana,” terang Ali Fikri lagi.
Sedangkan, lanjutnya, terhadap Gubernur Sumut dalam kasus ini (di luar sangkaan lainnya) telah divonis bersalah berdasarkan Putusan PN Tipikor Medan Nomor: 104/Pid.Sus.TPK/2016/PN.Mdn tanggal 9 Maret 2017 dengan pidana penjara empat tahun dan denda Rp250 juta subsidair enam bulan.
“Ybs kemudian mengajukan banding. Putusan banding pada Mei 2017 menguatkan putusan PN. Pada Juli 2017 jaksa eksekutor pada KPK telah mengeksekusi yang bersangkutan ke Lapas Sukamiskin, Bandung Jawa Barat untuk menjalani pidananya,” kata Ali Fikri.
Menurutnya, penetapan 14 Anggota DPRD Provinsi Sumut ini merupakan tahap keempat. Sebelumnya, KPK juga telah memproses 50 unsur pimpinan dan Anggota DPRD Provinsi Sumut periode 2004-2009 dan/atau 2014 – 2019 dalam dua tahap, yaitu tahap pertama pada 2015, KPK menetapkan lima unsur pimpinan
DPRD Sumut.
Kemudian tahap kedua pada 2016, KPK menetapkan tujuh Ketua Fraksi
DPRD Sumut,
Selanjutnya, tahap ketiga pada 2018, KPK menetapkan 38 Anggota DPRD
Sumut.
“Seluruh tersangka kini sedang menjalani pidana masing-masing
setelah divonis bersalah oleh majelis hakim Pengadilan Tipikor
Medan dengan hukuman rata-rata 4 hingga 6 tahun penjara,” urainya.
Ia mengingatkan bagi para tersangka yang hari ini tidak memenuhi
panggilan KPK, agar segera memenuhi panggilan
untuk dilakukan pemeriksaan sebagai tersangka.
“Kasus ini sekali lagi menunjukkan bagaimana korupsi yang dilakukan secara masal dengan memanfaatkan pelaksanaan fungsi dan kewenangan legislatif sebagai pintu yang membuka peluang terjadinya kongkalingkong antara eksekutif dan legislatif
untuk mengamankan kepentingan masing- masing ataupun
mengambil manfaat untuk kepentingan pribadi atau
kelompoknya. KPK juga berharap kasus ini menjadi pembelajaran ke depan bagi masyarakat agar memilih wakil rakyat yang memiliki integritas dan tidak memiliki rekam jejak melakukan tindak pidana korupsi,” tandasnya.
(rek/wii)